Gelas setengah terisi

Reynaldi Putra Hertiansa
3 min readSep 11, 2020
Foto oleh Manki Kim di Unsplash

Cukup terjadi perdebatan mengenai gambar di atas. Apakah gelas tersebut setengah penuh atau setengah kosong? Muncul juga pendapat ketiga yaitu gelas tersebut penuh yang isinya separuh air dan separuh udara. Tidak ada pendapat yang salah dan benar, hal ini tergantung dari sudut pandang kita dalam melihat sesuatu. Pembahasan tentang ini sudah dibahas oleh banyak orang di berbagai tulisan.

Yang menarik adalah, kemampuan gelas sebagai wadah untuk menampung air. Jika kita analogikan gelas sebagai kapasitas manusia untuk menampung informasi dan air adalah informasi yang ada di seluruh dunia, pertanyaannya berubah menjadi “Gelas seperti apa yang kita inginkan?”

Kemampuan manusia untuk menerima dan memproses informasi sungguh luar biasa. Meskipun begitu, informasi yang tersedia di dunia ini juga sangat banyak, hampir tak terhingga. Tentu kita tidak bisa menyerap semuanya. Butuh kebijaksanaan untuk menerima informasi-informasi. Setiap orang juga punya preferensi masing-masing terhadap informasi yang ingin diterimanya.

Seperti kutipan salah satu detektif fiksi terkenal, Sherlock Holmes, otak manusia ibarat sebuah loteng, kecil dan kosong. Loteng ini perlu diisi dengan berbagai perabotan dan ukurannya tidak bisa diperbesar. Perbedaan orang bodoh dan bijak terletak dari pemilihan dan peletakkan posisi perabotan. Peletakkan yang bagus akan memudahkan untuk mengelola barang-barang ketika diperlukan. Peletakkan yang sembrono justru akan membuat penghuninya terjebak ditengah-tengah.

Kembali ke gelas, kita harus memilah-milah informasi apa yang ingin kita tampung. Ada 3 kondisi yang bisa terjadi pada gelas kita, terisi penuh, kosong, dan setengah terisi(setengah kosong). Perbedaan ini akan mempengaruhi pengisian air, dengan kata lain, proses belajar untuk menerima informasi baru.

Jika gelas kita terisi penuh, hal ini menandakan kita sudah memaksimalkan kapasitas penyimpanan kita dengan banyak informasi. Sekilas hal ini terdengar bagus karena pengetahuan kita menjadi luas. Namun, kita jadi tidak bisa menerima informasi tambahan. Proses belajar kita jadi terhenti karena kita sudah merasa cukup dengan informasi yang kita punya.

Jika gelas kita sepenuhnya kosong, sebenarnya kita jadi bebas untuk menerima informasi apapun. Informasi yang kita terima akan lebih mudah untuk tertampung. Namun, karena kondisi awalnya kosong, kita tidak punya standar, tidak ada ambang batas untuk jenis atau pun kualitas informasi yang kita terima. Proses belajar pun jadi tidak optimal. Akibatnya, informasi yang kita punya jadi tidak teratur dan terkelola dengan baik.

Kondisi gelas yang lebih baik adalah gelas yang setengah kosong. Kita sudah punya informasi yang kita dapatkan sendiri, namun masih ada ruang untuk menerima informasi lain. Dengan begini, kita jadi punya pendirian dan standar sendiri yang akan menyesuaikan input yang diterima selanjutnya. Tidak menelan mentah-mentah, tidak juga menolak sepenuhnya. Pengelolaan informasi yang kita punya pun jadi lebih mudah.

Untuk menjaga kapasitas gelas kita untuk tetap setengah kosong, kita dapat mengosongkan gelas kita dengan menuangkan informasi kepada orang lain. Walaupun sebenarnya kita tidak kehilangan sedikitpun informasi ketika kita bagi kepada orang lain, hal ini membuat kita menyerap informasi lebih cepat, sehingga menciptakan ruang kosong baru bagi informasi lain untuk masuk. Dengan begini, tidak hanya kita membantu orang lain menerima informasi, kita juga bisa menjaga otak kita agar tidak penuh dan tetap siap menerima informasi baru.

Mungkin dari sinilah muncul istilah haus akan ilmu. Kalau begitu, angkat gelasmu!

--

--